Dengan cepat, Bruce Lee merespon, "Apa itu musuh? Tidak ada musuh. Karena tidak ada kata "saya" atau "musuh" dalam pertempuran. Saya fokus dan menyatu dengan gerakannya saat dia menyerang.
Saya bermain. Semakin keras ia memukul, semakin keras pukulan akan berbalik kepadanya. Saya tidak memukul, tetapi saya memastikan orangpun menghargai saya secara utuh!"
Berkaitan dengan komentar Bruce Lee di atas, dapat kita perhatikan bahwa kungfu ataupun seni bela diri lainnya sebenarnya bukan saja bersifat fisik, tetapi banyak pembelajaran mental yang terkandung didalamnya.
Termasuk soal emosi pun, sebenarnya kita bisa belajar banyak dari pirnsip Kungfu. Karena itulah, kali ini kita akan bicara soal Kungfu Emosi. Istilah Kungfu Emosi ini sendiri, bukanlah istilah yang dibuat-buat.
Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh Charles Manz, seorang penulis pengajar kepemimpinan dalam bukunya yang berjudul Emotional Discipline.
Apakah Kungfu Emosi itu? Prinsip Kungfu Emosi menurut Manz adalah mirip seperti yang dikatakan oleh Bruce Lee diatas, yakni upaya memanfaatkan kekuatan serangan dari lawan agar justru bisa menjadi keuntungan buat kita.
Menurut Mantz, logika kungfu pun dapat diterapkan pada konflik-konflik emosional. Pertama-tama, tetap respek dan menghormati seseorang yang menyerang Anda. Kedua, jangan membahayakan orang lain tanpa ada alasan yang jelas. Ketiga, daripada melawan serangan emosi, lebih baik kita pakai energi tersebut untuk cari solusi.
Musuh bebuyutan
Dalam menerapkan ilmu Kungfu Emosi ini, ada beberapa ciri "musuh bebuyutan" yang bisa jadi pemicu kapan serta situasi dimana ilmu Kungfu Emosi ini perlu Anda gunakan.
Pertama-tama adalah tatkala Anda harus menghadapi orang yang sangat defensif mempertahankan dirinya, serta mulai menyalahkan orang lain. Musuh lainnya adalah orang-orang yang senang menyerang ide-ide Anda atau yang terakhir adalah orang-orang yang telah melanggar hak Anda dan menyerang secara agresif kepentingan ataupun wewenang Anda.
Nah, sebelum kita bicarakan soal teknik dalam Kungfu Emosi ini, mari kita bicarakan respon umum yang biasanya diberikan oleh orang menghadapi musuh yang seperti itu.
Umumnya, respon paling sering dan paling primitif yang diberikan seseorang adalah respon general adaptation syndrome (GAS) yang berasal naluri di sistem limbik di otak yakni fight (melawan) atau flight (lari).
Namun, kedua-duanya sebenarnya sama sekali tidak memecahkan masalah menghadapi "musuh-musuh" di atas. Coba kita analisis.
Apa yang terjadi saat kita fight (melawan). Misalkan seseorang menyerang Anda dengan mengatakan bahwa produk kreasi Anda tidak laku di pasar karena Anda tidak mengerti pasar sama sekali.
Lantas, Anda membalasnya dengan mengatakan bahwa dia mengucapkan hal tersebut karena iri bahwa Andalah yang diberikan kesempatan mengembangkan produk. Apa yang akan terjadi?
Kemungkinan besar, dia akan menjadi semakin defensif. Persoalan yang sebenarnya pun makin tidak selesai, bahkan lebih buruknya, masalahnya kini bisa jadi semakin personal.
Bagaimana masalahnya jika kita menggunakan teknik flight (lari dari masalah)? Misalkan ada situasi dimana Anda diserang oleh salah satu famili Anda di depan keluarga besar.
Dia mengatakan anda tidak becus mengurus anak karena anak Anda ternyata baru saja mendapatkan kasus di sekolah. Apa yang terjadi jika Anda flight (lari) dari situasi ini? Akibatnya, si famili Anda tersebut, akan merasa seperti dapat angin.
Lain kali dia mungkin akan melakukannya lagi, bisa jadi pada diri Anda bisa pula dengan dia orang lain. Di sisi lain, ia pun tidak akan pernah belajar.
Teknik Kungfu Emosi
Di dalam program pelatihan kecerdasan emosional yang saya berikan, saya mengembangkan beberapa prinsip dari Charles Manz dan menyesuaikan dengan kondisi kita.
Saya menyebutnya teknik kungfu emosi. Filosofi utama dalam Kungfu Emosi ini adalah: Seek not to harm others, but only to protect self from violation by others.
Intinya, ada kalanya dimana kita juga harus berani "membela diri kita atau membela mereka yang diperlakukan secara tidak adil jika sudah terjadi pelanggaran prinsip-prinsip".
Bagaimana teknik kungfu emosi ini kita terapkan? Pertama, Anda merephrase ataupun mengulang apa yang dikatakan dan dilakukannya. Langkah ini untuk memperjelas dan untuk memfokuskan sehingga ia bisa melihat apa yang dikatakan dan dilakukannya.
Kedua, secara tegas, Anda ungkapkan apa yang Anda rasakan terkait dengan apa yang diucapkan dan dilakukan oleh orang tersebut. Setelah itu, Ketiga, Anda pun sebaiknya mengungkapkan apa yang kita kehendaki dan harapkan dari orang tersebut.
Dan kalaupun ternyata sikap kita tersebut tidak dihargai oleh orang tersebut, lantas pilihan terakhir yang mungkin kita lakukan barulah berupaya 'memberi pelajaran berharga baginya' namun Anda tetap mengendalikan emosi Anda.
Misalkan dalam suatu acara yang gagal, Anda pun dipersalahkan oleh rekan kerja Anda. Dia menyatakan didalam rapat umum bahwa salah satu sebab kegagalan acara adalah karena Anda begitu sibuknya sehingga dia tidak punya kesempatan untuk mempersiapkannya dengan Anda.
Padahal, jelas-jelas dialah yang sulit Anda hubungi dan berulangkali menolak untuk bertemu. Maka, teknik kungfu emosi ini bisa dipakai dengan kalimat, "Barusan saya mendengar Anda mengatakan bahkan acara ini menjadi gagal karena kurangnya persiapan waktu yang disebabkan oleh saya yang sulit untuk diajak bertemu.
Saat mendengar komentar Anda, terus terang saya marah sekaligus merasa dipersalahkan. Saya pikir lebih baik kita berfokus pada faktor-faktor yang membuat acara kita gagal daripada saling menyalahkan orang."
Namun, bagaimana jika ternyata yang diberitahu justru semakin gencar menyerang? Maka langkah memberikan pelajaran pun harus dimulai. Langkah pertama paling mudah dan sederhana adalah dengan membeberkan fakta yang perlu ia ketahui, sehingga ia tidak mengucapkan dan bersikap seenaknya.
Langkah membalas kedua adalah bisa dengan menyidir atau menggunakan humor sindiran buatnya. Selanjutnya, kalaupun ternyata berbagai cara tersebut tidak mempan dan orang itupun sama sekali tidak menghargai orang lain, mungkin beberapa langkah terakhir ini dapat dipakai, jika hal ini bisa menyadarkannya.
Meskipun, memang langkah ini sebaiknya dihindari. Sebab jika tidak dipergunakan dengan tepat, bisa menyulut api permusuhan yang semakin besar. Caranya, dengan menggunakan 'tombol panas' (hot button) orang tersebut, misalkan "Saya tahu Anda marah karena promosi Anda yang gagal.
Tetapi, jangan bawa-bawa emosi Anda dengan menuduh orang lain sembarangan". Ataupun jika orang tersebut tetap tidak bergeming, langkah terakhir adalah membingkai ulang serta balikkan (reframe and redirect) apa yang telah diucapkannya sehingga menjadi bumerang untuk orang itu sendiri.
Misalkan, "Heran sekali bisa punya partner segoblok kamu". Respons reframe and redirectnya menjadi, "Lha yang milih partner kan kamu, berarti kamu juga sama gobloknya dong".
Intinya, tentu saja menggunakan kungfu emosi ini harus bijak! Kita harus tetap memegang teguh prinsip-prinsip menghargai diri sendiri dan orang lain. Di sisi lain, kita juga fleksibel dalam menentukan langkah yang tepat, sebab tidak semuanya harus dilawan.
Seperti kata Bruce Lee, jadilah seperti air yang mengalir, Be water, my friend. Be water. It can flow or it can crash. Be water my friend!
No comments:
Post a Comment